Episode Musim

Kamis, 15 Mei 2025 19:56 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Cerpen Hari Ini
Iklan

Panorama cerpen imaji mengurai sel-sel otak agar tetap sehat walafiat. Tak ada pembaca tak ada seni susastra. Jelajah imajinasi.

Terkadang sebab angin titik api menjadi bara, lantas letupan, lalu ledakan menggelegar, kembali kekacauan kadang disebut the reform, hiks, meski untung-rugi ada di semua pihak. Siklus menjadi putaran waktu. Para filsuf menulis titik balik, logika bermain imajinasi di garis merah teori, analisis membeku di mazhab-mazhab. 

Yak ellah, mazhabnya itu lagi, itu lagi, tak jauh dari filsafat teori, analisis astimasi logika. Iyau! Kagak pinter-pinter itu bikinan manusia, hapalan lagi, hapalan lagi. Sementara Xpansi anonim non simbol-udah jadi dajal gigantik tinggal menunggu waktu. Glar!

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Kau hitung nilai kecepatannya."
"Proses ledakan molekuler alami."
"Kontraksi antara waktu peralihan musim."
"Kurang lebih begitu."

"Kembali pada kepentingan politik logika."

Ada sangkala waktu loh mengawasi, setiap detik kapanpun mampu melibas apapun bersifat gelap merugikan kebaikan. Jangan sombong jadi manusia bakal mudah terserang stroke loh.; Segala apapun bersifat hidup, telah dibatasi; hukumnya pasti.

Ambang batas zaman kebaruan akan terasa di ranah semesta original. Bukan takdir palsu buatan manusia dengan perangkap konflik memicu propaganda, lantas jadi proyek peperangan deh. Iyau! 

Enggak usah bangga-bangga amat dengan teori adobsi konspirasi-zaman lawas itu, cek aja sejarah nazi, barat piawai dibidang contek mencotek cuy wkwkwk-teori kuno loh itu-hobi amat perang sebatas pikiran manusia-enggak ada manusia enggak bisa mati cuy biar kate punya jimat bejibun-musrik tau, neraka loh, hiks.

"Setidaknya jembatan membaca tanda-tanda."
"Untuk membedakan alami, non alami."
"Pengkhianatan pikiran di antara keduanya."
"Sebagai pemicu sebab akibat."

Eksistensi harkat kehidupan seakan nol saat perang meletus serupa kisah pewayangan lah hai. Para drakula perang tak punya belas kasih (tapi takut mati) tengoklah sejarah dunia matinya diktator, kasian deh jadi sampah-di sejarah. Oh! Itulah hukum perang. Ups! Melawan lupa ya.; Ada Sang Maha Kuasa Pemilik Semesta. 

Cinta, apakah masih ada di tengah peperangan, entahlah. Namun musim membuat pintu atas nama mungkin lebih terbuka pada ego individu ataupun kelompok, termasuk pelengkap tempat cuci tangan plus cuci muka. Singa menerkam kelinci. Heroisme menjadi euforia payung fantasi. Isme monorel satu arah hanya mampu memamah biak menambah api neraka untuk diri sendiri.

Wow! Jangan GR dulu. Ini obrolan negeri atas angin. Kalau provokasi pandir mendarat di antara situasi hidup. Makhluk sosial kehilangan keseimbangan daya rasional. Politik perang, ambigu di antara salah-benar pengkhianatan pada pesona gigantiknya mampu terbolak balik. 

"Tolok ukur dasarnya begitu."
"Dengan bebas atau kembali ke teori."
"Pembebasan dogma."
"Menghancurkan isme."

Ketika kata politik berkomunikasi. Maka lahirlah perseteruan, persaingan, pergolakan, pengkhianatan, intimidasi, hipokrisi personal atau kelompok menuju publiknya. Aneh, pada satu bentuk istilah kata itu: Politik.

Meski tergantung dari sisi mana melihatnya menjadi relatif pada trans kata politik. Menentukan titik didih perjalanan individual, kelompok, lagi-lagi menuju massa, kalau kehilangan kontrol akan menjadi massal; perang tak manfaat rakyat merugi. 

"Teorinya sih begitu. Berani melawan kemapanan."
"Objektivitas maksudmu."
"Laiknya teori UFO, antara kebohongan, kebenaran sains."
"Abstraksi bermain di nalar."

Namun menjadi keseimbangan relatif kalau perang atas kehendak perlawanan pada mental kolonialisme adaptif di kemodernan kini. Sudah pada tahukan-nyata kutukan langit api datang ke Bumi. Eh! Halah! Manungsa ilmunya sebatas langkahnya.; Tuh! Semar mesem di balik gunungan langit. Manusia sombong diketawain Semar, tuh.

Perang di bumi, kebrutalan di benua anonim, makar di sebuah negeri atas angin, invasi militer di negeri jauh bagai dongeng abstraksi dini hari. Invasi militer tampaknya penyakit invalid turunan. Tak semua hal terkait politik, diselesaikan melalui jalur perang. Diplomasi kan bisa, lebih murah.

"Meski agak memaksakan."
"Bahwa sejarahnya pernah ada."
"Konspirasi sains."
"Ujungnya kemana ya."

Kalau masih percaya bahwa ada Sang Maha Pencipta, penentu kehidupan semesta. Catet neh, senjata perang ente bakal jadi permen karet dihadapan fitrah Ilahi. Udeh deh enggak usah kebanyakan gaya jadi manusia.; Sekali lagi hidup itu sudah dibatasi.; Masih berani membantah.

Perang bisa masuk pasar jual beli, kan memang begitu penyakit turunan bagi negara gemar perang; semoga tak terbelakang secara iman kemanusiaan meski maju di bidang tekno. Apakah tekno perang mengenal iman. Enggak tahu deh. Mungkin, kebenaran satu sisi gelap di sisi sebaliknya di rentang zaman berlari, di batas hidup manusia.

"Secara kosmis masih di perdebatkan."
"Kembali ke zaman awal."
"Bahwa ada kehidupan lain sebelum abad kenabian."
"Perlu pendalaman peninjauan fakta."

"Otentisitas."
"Kurang lebih begitu."

Senjata menjadi penentu kematian dalam kisah-kisah sejarah peperangan. Kaum nomaden hingga monarki ke modern. Bharatayuda antar-isme, menjadi permainan percaturan politik idiom bagai aksara terbaca ataupun jungkir balik, serupa karakternya dari zaman ke zaman-kagak berubah kuy.

Seakan-akan dunia dibuat kiamat sesaat oleh perang-perangan icu deh. Kasian deh jadi manusia, ambisius namun sangat lemah-syahwat, mudah di adu domba; cek aja di teori-sejarah konspirasi dan kapitalisme politik.

"Sejarah manusia terkadang patut ditinjau ulang."
"Meski agak bertentangan dengan sains pendahulunya."
"Sulit ketika nalar terlanjur terperangkap bayang-bayang fakta."
"Cahaya hilang tak ada bayangan di benda masif."

"Tapi tetap tak mau percaya."
"Tak mudah atau tak mau."
"Terperangkap gengsi teoritis."
"Buntutnya debat kusir sekalipun menyoal sains."

"Nah itu."
"Habitat perwatakan."
"Cocok isme."
"Sudah tercatat sejak lampau."

Perilaku kultural berkembang dalam teknologi-sains, di era zaman terus mencipta manfaat nuklir sekaligus ancaman untuk menghancurkan diri sendiri. Wow! Teknologi  makhluk manusia serba terbatas tak jauh dari langkah kakinya, kasian deh. Itupun kalau kultur edukasi tetap ada di ranah publik. Ehem.

Kala daun berguguran sebelum musim barangkali salah satu cara dari beragam tanda-tanda alam sebelum bencana gigantik. Alam memiliki watak peranan amat khas. Dengarkan suaranya. Cium aromanya. Para pencinta alam mengerti hakikatnya.

***

Jakarta, Indonesiana, Mei 14, 2025.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

img-content

Jreng! Dar Der Dor

Senin, 9 Juni 2025 08:28 WIB
img-content

Fragmen

Sabtu, 7 Juni 2025 15:29 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Fiksi

img-content

Fragmen

Sabtu, 7 Juni 2025 15:29 WIB

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

Lihat semua